Jumat, 30 Desember 2022

Mengenal Edhi Sunarso, Maestro Patung Dari Tentara Menjadi Seniman

 


Indonesia memiliki banyak sekali tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai pahlawan, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak sekali patung atau monumen yang dibuat untuk mengenang jasa pahlawan tersebut dan melestarikan nilai-nilai sejarah yang ada. Sehingga dapat dipelajari oleh generasi mendatang.

Dan salah satu tokoh yang sangat berjasa dalam pembuatan patung-patung pahlawan yang ada di Indonesia adalah Bapak Edhi Sunarso. Lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada 12 Juli 1932. Beliau merupakan lulusan dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STRI/ASRI), lalu berkuliah di Visva Bharanti Rabindranath University, di India.


Dengan pendidikan yang beliau miliki, Pak Edhi Sunarso mengabdikan dirinya sebagai pematung khususnya terhadap tokoh-tokoh pahlawan nasional. Tak hanya sebagai seniman, beliau juga pernah menjadi seorang tentara, salah satunya pada pasukan Samber Nyawa Divisi I, Batalyon III, dan Resimen V Siliwangi.


Perjalanan Pak Edhi sebagai tentara tidak selalu berjalan mulus, sampai beliau bertemu dengan seorang bernama Hendra Gunawan, seniman pada tahun 1950. Pertemuan itu membuat darah seniman pada Pak Edhi mengalir kembali, dan dari sana pula beliau mulai belajar dan mendalami seni memahat. Dan melepas statusnya sebagai tentara militer.







Nama Edhi Sunarso meroket ketika beliau berhasil menjadi runner up pada lomba sayembara patung sedunia yang diadakan di London pada tahun 1953. Tak hanya itu, beliau juga mendapatkan penghargaan medali emas sebagai karya seni patung terbaik, India pada tahun 1956 dan 1957.

Torehan tersebut yang membuat Pak Edhi dipercaya untuk memegang kendali dalam seni pahat di Indonesia. Nah berikut beberapa hasil karya Pak Edhi Sunarso, Monumen Tugu Muda (Semarang), Monumen Pembebasan Papua Barat (Jakarta), Monumen Selamat Datang (Jakarta), Patung Dirgantara (Jakarta) dan masih banyak lagi.

Pak Edhi Sunarso wafat pada 4 Januari 2016 di Jogja International Hospital pukul 22:52 karena infeksi pernafasan akut yang dideritanya, dan dimakamkan secara militer.



sumber:

Good News From Indonesia

Liputan 6

olah data & ilustrasi:

andanu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Edward Douwes Dekker, Kritik Untuk Kolonial dari Darah Belanda, Lewat Sebuah Buku

  Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820 – 19 Februari 1887), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli &q...